My Blog List

Saturday, October 30, 2010

Rumah dan Pekerjaan

Anwari Doel Arnowo 30 Oktober, 2010.
Rumah dan Pekerjaan

Dua hal ini amat penting dalam kehidupan manusia, baik yang modern maupun yang purbakala.
Manusia jaman purba rumahnya mungkin di dalam gua atau di atas pohon. Tempat kerjanya, mungkin juga di alam terbuka di sekitarnya, bisa hutan, bisa sungai atau tepi sungai atau pantai danau luas atau laut.
Manusia modern?? Ya, rumah dari segala macam bentuk. Yang paling sederhana adalah di emper toko yang sedang tutup pada malam hari. Ada yang berupa tenda wana biru terbuat dari plastik dan bertiang sepotong kayu bekas apa saja. Di dalamnya ada anaknya di situ dan juga istrinya. Mereka adalah korban urbanisasi. Mungkin rumah aslinya masih ada di desa nun jauh di sana di Selatan Jawa Tengah atau dekat kota Tegal dan di Jawa Timur. Rumah aslinya itu mungkin juga di atas tanah 200 meter, miliknya sendiri, cukup besar bangunannya, tetapi mengapa dia rela tinggal di situ? Tanpa listrik dan tanpa jaminan apa-apa?
Karena nafkah sulit didapat, maka dia itu berusaha mendekatkan dirinya dengan tempat kerjanya yang dia merasa mampu.
Macam apa pula pekerjaannya itu? Dia ini bisa saja tukang pulung barang bekas, plastik bekas dan semua yang bekas kecuali bekas pejabat apalagi yang korup. Yang penting dia tidak melewatkan kesempatan mendaur ulang barang-barang bekas itu dan menjualnya serta mendapat penghasilan daripadanya. Apakah dia perduli barang bekas itu hasil dari tempat buang penyakit, dari tempat bungkus tindak kejahatan dan dari bekas kotoran manusia?? TIDAK. Sekali lagi, yang teramat penting sekali: untuk segera bisa bekerja memanfaatkan kesempatan, agar barang-barang yang memang tidak dikehendaki lagi oleh pemilik lamanya itu bisa didaur ulang dan produk akhirnya adalah uang.
Singkat dan tegas pikirannya. Halal atau haram, what the heck-perduli setan! Biar ungkapan bahasa Inggris begini kalau hanya sekedar memaki saja, saya sudah belajar, katanya di dalam hati. Itu dipelajarinya sebab dia mendengar percakapan antara dua orang yang satu memanggil temannya agar segera berjalan. Tetapi temannya ingin terlebih dahulu memberikan sesuatu kepada dia, sebuah bungkusan berupa sisa makanan. Teman yang memanggilnya tadi,  mengucapkan kalimat seruan “What The Heck?!?. Biarpun waktu itu dia belum mengerti artinya, sakit dan tajam juga dirasakan di pendengarannya. Apalagi pada suatu saat di kemudian hari dia bertemu dengan seorang yang juga seorang gelandangan, sesama orang Jawa juga, yang mengerti bahasa Inggris. Dari dialah diketauinya apa arti ungkapan tadi.
Kalau dia hidup susah seperti ini apa sih peran kepercayaannya selama ini. Para pemuka kepercayaan yang telah ditemui dan dipercayainya selama ini tidak ada satupun yang menolongnya memperbaiki kehidupannya. Yang dikenal olehnya hanyalah yang selalu meminta derma, mengharuskan sedekah dan memaksa dia berzakat, sedang yang men-zakati atau mendermai dirinya lalu lalang di depan matanya tanpa menyempatkan diri menengok dia.
Maka berangkatlah dia ke Jakarta dan tinggal di “rumah”nya yang mungil dan amat sederhana dari plastik warna biru itu, sehari-hari tanpa baju yang lengkap, hanya celana pendek. Tetapi di sini dia makan biarpun tidak tiga kali tetapi sering dua kali. Itu semua dari hasil mendaur ulang palstik bekas dan kertas serta kardus bekas.
Ah, belum tentu semua harinya seperti itu. Ada saja yang memberi makanan kepadanya tanpa pamrih.
Pada suatu saat ada seorang laki-laki yang tidak muda lagi yang sedang jogging dan tiba-tiba berhenti di depannya, mengamati dirinya dan tanpa mengatakan ba atau bu atau bi, dia mengulurkan tangannya ke belakangnya. Mengambil dompetnya dan memberikan uang kertas lima puluh ribu Rupiah. Memberikan uang itu kepadanya, dan sekali lagi diam seribu bahasa, dia berlalu meneruskan joggingnya. Wah si pejogging tadi manusia bener atau bukan ya, kata batinnya. Ah, ini uangnya beneran, kok?!?! Waduhh, matur kesuwun, den! Siapa itu ya Den Bagus tadi?? Jogger yang menjadi Gusti?! Apa dia pikirkan bahwa uang itu asalnya dari hasil korupsi, atau dari hasil rencana kejahatan? Sekali lagi What The Heck. Dia langsung pulang dan membagi rejekinya dengan anak istrinya.
Itu adalah gambaran banyak orang yang sekarang hidup di Jakarta dan kota-kota besar di seluruh Indonesia. Mereka dianggap sebagai sebagian dari kotoran Jakarta dan sampah kota saja layaknya. Saya bisa bercerita seperti ini karena tidak pernah menghindari “wawancara” yang puluhan kali yang saya lakukan dengan kaum miskin, kaum papa dan para gelandangan serta preman ini. Cerita ke sana dan ke sini, NGALOR NGIDUL ,  saya telah menuliskannya sebagian seperti di atas.
Berapa jumlah mereka ini? Yang penghasilannya kurang dari dua US Dollar sehari?? Ini versi miskin menurut banyak Badan macam-macam di dunia, yang ada di PBB, yang ada di USA, dan yang ada di World Bank. Tanyakan  jumlahnya di Biro Statistik, di Menko Kesejateraan Rakyat atau di Metro TV serta di TVTiga. Atau di LSM yang  selalu berniat mengangkat kemiskinan? Ini istilah yang rancu!! Masakan kemiskinan kok diangkat! Apanya yang diangkat itu?? Jumlah orang miskinya? Moga-moga saja bukan tingkat atau peringkat kemiskinannya.
Saya yakin jawab mengenai jumlahnya akan menunjukkan angka yang berlain-lainan dari tiap Badan itu.
Saya pribadi sudah menjadi pemerhati kaum papa serta miskin dan sengsara sejak saya masih muda, sejak saya masih 15 tahunan. Kesimpulan utamanya adalah bahwa hal ini tidak akan bisa disembuhkan, oleh tata kelola dan tata usaha pemerintahan yang berbentuk apapun. Republik, Kerajaan, Kekaisaran dan Komunisme, Keagamaan serta Sosial yang manapun. Lihat saja contoh dan contonya di Arab Saudi yang kaya raya, juga di USA dan Jepang serta Jerman dan Swedia yang makmur serta di Roma yang dekat dengan Vatikan. Bahkan di Kuba yang sosialis di bawah Fidel Castro. Brunei dan Malaysia?? Apa ada yang bebas kemiskinan? TIDAK ADA SATUPUN !!...
Obat yang bisa diberikan kepada kaum papa dan sengsara ini hanya berupa semangat, berupa ketrampilan, berupa state of mind, mindset yang bisa membantu mereka ini, menyiapkan mental mereka setiap pagi bangun tidur, untuk bisa menolong dirinya sendiri dan bekerja mencari nafkah halal. Pekerjaan seperti ini tanggung jawab siapa? Itu tanggung jawab pemerintah, para penyelenggara pemerintahan Negara serta tanggung jawab kita sendiri, siapapun yang mau dan mampu. Saya sudah mengerjakan semampu saya sepanjang hidup saya, tanpa ba dan bu serta bi. Dengan cara saya yang unik sendiri, diam-diam, tanpa bicara ke sana dan ke sini. Saya tau bahwa yang telah saya kerjakan adalah merupakan a very tiny dot – sebuah noktah kecil.
Tidak apa-apa, tanpa nilai atau dinilai sedikit sekalipun penilaiannya, hati saya akan tetap berkata: pasti berguna.
Sering saya kutip perkataan yang paling saya sukai: Janganlah kita menjadi fakir (dompetnya) karena diberi bekal yang disebut dengan istilah AKAL yang memang sudah diinstall serta telah ada sebelum kita terlahir di dunia. Kafir adalah kondisi yang tinggal satu langkah lagi akan bisa berbuat kufur (perbuatan yang tidak baik dan menjurus ke arah pelanggaran Undang-Undang).
Sehubungan dengan masalah pemulung ini saya ingat kepada sebuah link: http://www.flixxy.com/convert-plastic-to-oil.htm  (Silakan CTRL +KLIK). 
Apalagi janganlah sampai fakir pola pikirannya dan ideanya.
Tolonglah para pembaca perhatikan. Kalau apa yang ada di dalam link ini memang benar adanya, apakah tidak sebaiknya kita himpun dana dari kalangan kita untuk membeli mesin ini dan menolong kaum miskin ini dengan menggunakannya sebaik-baiknya? Tambah penghasilan di segala bidang dan di mana-mana, di pelosok-pelosok di seluruh negeri kita, menciptakan kerja di mana-mana. Siapa yang sanggup menjadi koordinatornya, silakan. Ini adalah salah satu cara yang akan banyak menolong, di manapun tempatnya, di desa, di atas gunung dan di pantai atau tempat-tempat lain yang terpencil sekalipun.
Mari kita kembali ke masalah rumah.
Di dalam benak saya selaku orang Jawa yang telah dicekokkan ke dalam otak saya oleh lingkungan-lingkungan di mana saya pernah berada, adalah berusahalah mempunyai rumah sendiri. Apalagi kalau bisa dekat dengan tempat kerjanya. Pedoman orang Jawa yang saya sering dengar adalah: Sandang, Pangan, Papan, Lara, Pati. Itu urutannya: Pakaian, Makanan, Rumah, Sakit dan Mati. Jaman sekarang sandang itu bukan terlalu sulit di dapat. Pangan juga. Rumah agak mulai sulit dan selebihnya (Lara dan Pati) di luar kontrol kita yang sederhana. Kalau hidup kita sudah sejahtera serta mampu berfikir secara lebih canggih maka Sakit dan Mati bisa dikelola dengan manajemen yang baik.
Rumah, pada saat ini, telah menjadi tujuan utama, hanya sayangnya agak dipaksakan. Banyak yang telah mengadakan rumah dengan sedikit banyak telah memaksakannya. Saya sebut demikian didorong oleh karena rasa gengsi dan “kehormatan semu” yang didapat dari situasi sekelilingnya. Maka seperti sudah pernah saya singgung di dalam tulisan saya yang telah lalu, terjadilah yang saya sebut sebagai menggadaikan masa depan (Pawn The Future).
Bisa terjadi seseorang telah menemukan rumah yang amat mendekati seperti  idamannya selama ini, tetapi jauh di luar kota, bahkan di kota lain. Jadi terpaksalah masalah jarak tidak dipandang sebagai masalah besar, padahal di sinilah terletak masalah ongkos perjalanan, ada masalah waktu perjalanan dan ada masalah kesehatan. Begitulah maka timbullah masalah waktu tempuh perjalanan, badan rasa lelah dan hambatan-hambatan lain yang belum secara serius terpikirkan sebelumnya. Anak menjadi besar dan sekolah yang dianggap sesuai untuk sang anak, tidak ada di sekitar rumah sekarang? Apa daya? Dokter atau fasilitas kesehatan? Uwah uwaaaahh, banyak benar ya  hambatannya?
Di tempat yang berkecukupan dan tertata rapi seperti di Toronto, Kanada saja, masalah begini masih ada juga.
Pada waktu muda memiliki rumah yang jauh dari downtown, padahal kendaraannya mencapai tempat kerjanya memangsa waktu hampir dua jam, pergi pulang empat jam. Maka dowtown biasanya ditempati oleh para pekerja makan gaji atau pengusaha yang bisa membayar segala sesuatunya dari gajinya setiap bulan. Mereka bisa digolongkan sebagai The Haves – Yang Mampu. Biaya parkir mobil sehari sekian dan sebulan sekian puluh Canadian Dollar, akhirnya mobil diparkir di dekat stasiun Subway yang ada di dekat rumah, atau diantar oleh sang istri sampai di situ, terus melanjutkan perjalanan menggunakan subway saja.
Sekarang menjadi lebih tua, bertambah umur, anak menjadi besar dan membangun rumah sendiri, mereka tinggal di downtown sesuai karirnya.
Lalu apa yang terjadi?
Bukannya kacang lupa dari kulitnya, akan tetapi memang sang anak tidak bisa meluangkan waktu mengunjungi orang tuanya seperti dikehendaki oleh para orang tuanya. Berikutnya adalah phenomena baru. Para orang tua yang telah memiliki rumah idaman dari kebanyakan orang, yang terletak agak jauh dari downtown, ternyata sekarang mengalir kembali ke downtown. Membeli condominium dan apartment di downtown agar bisa lebih dekat dengan anaknya. Maka di jalan-jalan di downtown, di community center dan di shopping malls, banyak juga manusia-manusia lanjut usia ini keluyuran. Mereka menggunakan tongkat dan kereta dorong stroller serta scooter yang khusus untuk para disabled atau penyandang cacat, ikut serta memenuhi daerah downtown.
Dengan siklus kehidupan yang saya coba gambarkan di atas, saya harap mereka yang sedang mengalami menata jenjang kehidupannya, pikirkanlah sebaik-baiknya dan menyesuaikan segala sesuatunya dengan keunikan kondisi masing-masing. Jangan terlalu hirau dengan aliran mode dan gengsi apalagi HARGA DIRI model yang telah lalu. Harga diri model itu amat memakan hati dan biaya, bisa menghancurkan rumah tangga.

Anwari Doel Arnowo
Toronto - 30/10/2010


No comments:

Post a Comment